Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

FROM MEMORIES DO NOT OPEN

  Aku belum selesai menulisnya kemarin. Bahkan belum genap untuk satu jilid. Kemungkinan selalu ada, setiap kelemahan adalah kemanusiaan. Aku mutlak MANUSIA. Namun memang tidak benar menjadikannya sebuah alasan belaka. Sama sekali bukan alasan untuk terus merasa lemah. Aku di sini. Berdiri kemudian mulai menyeduh secangkir kopi. Namun seringkali juga menyeduh teh dengan dan tanpa gula. Hal sesederhana ini membuatku memahami diri sendiri. Mengapa demikian? Aku hanya merasa aku perlu melakukan hal-hal berbeda sesuai keadaan terbaik dan terburukku saat itu. Ketika aku masih menjadi anak kecil bahkan hingga sekarang, ada banyak hal-hal yang menjadi alasan mengapa diriku terlalu mudah untuk menangis. Satu rahasia umum ketika kita menginjak diri yang berubah-ubah, mengapa kemudian kita pernah ada di suatu waktu bahwa menangis adalah hal yang sulit? Why I can’t cry? Uniknya lagi sebagai manusia terkadang ada suatu waktu tiba-tiba kita menangis, tiba-tiba kita tertawa, dan apakah kita ha

Untuk Seseorang di Masa Mendatang

Kita berjalan jauh untuk mencapai dekat. Ketika waktu tidak bertentangan, aku bersyukur kita bukan jalan yang berseberangan. Kita jalan yang beriringan kendati aku dan kamu tidak terlahir dalam keadaan yang sama. Entah kapan suatu masa itu datang, kita pasti berdampingan dengan perbedaan. Maka mari berdamai dalam penerimaan. Sesuatu yang kalau-kalau jatuh akan kita tangkap bersama. Sesuatu yang kalau-kalau hilang akan kita temukan bersama. Hidup tak pernah sedatar stadion ibu kota. Hidup tak pernah selalu hijau bak rumput yang terpangkas rapi di atasnya. Namun kita akan menanam dan menuai tanaman yang sama. Sebuah tanaman yang mengingatkan kita tentang pemaknaan kesabaran. Seharusnya aku dan kamu tak pernah jauh karena takdir itu sendiri yang membuat kita dekat. Bak setiap kegagalan dan percobaan, bak setiap kegagalan dan tercapainya keberhasilan setelah ratusan percobaan. Selayaknya kita mencoba berdamai atas keadaan diri masing-masing. Penerimaan itu bukan sesuatu yang tak

Pulang

“I write for my little soul” Pernahkah engkau merasakan? Tak dapat menjadi dirimu sendiri dan penuh kepalsuan. Itu datang dalam waktu yang sangat-sangat dalam. Ketika engkau banyak mendengarkan kata-kata orang namun tak mampu mendengarkan dirimu sendiri. UJUNGNYA. Sampai engkau ingin berteriak dengan lantang pada akhirnya. Sampai engkau ingin meremukkan kaca jendela rumahmu. Sampai engkau ingin membanting pigura kesayanganmu. Sampai engkau ingin mematahkan harta berhargamu, hati yang terlanjur remuk. Saat engkau sadar tak satu pun ada yang memperhatikanmu, kecuali Tuhan. Seolah tak ada yang dapat mengertikan betapa sulitnya keadaan jiwamu. Ketika tuntutan-tuntutan terasa begitu menekan. Ketika angka dan perbandingan itu membuatmu muak dan ingin pergi ke negeri jauh. Namun, kakimu bergetar hebat dan seakan tak kuat berdiri. Engkau jatuh sejatuh-jatuhnya pada lubang paling dalam. Mengutuk kehidupan dan menangisi hari-hari kemarin. Meyaksikan kehancuran hari ini seka

Perjalanan Menemukan yang Tak Ditemukan

A ku benar-benar seperti ingin pergi ke negeri jauh. Merasakan dingin butiran salju. Memanjakan perasaanku sendiri. Aku terlampau senang untuk bertualang dalam kepalaku. Namun, belum ada kesempatan pasti untuk menentukan sebuah perjalanan. Apakah aku berani bepergian sendiri? Haruskah ada orang lain yang kuajak? Sebuah buku yang akan terus aku tulis setiap waktu, takdir. Sesuatu di antara yang telah kuubah dan tak dapat aku ubah. Aku ingin terus merawat dunia kecilku. Jangan terburu-buru untuk menua karena aku tak ingin terlampau cepat sakit. Masih banyak waktu yang ingin kulewati dengan kemudaan dan kebebasan. Lalu mengapa pula menjadi dewasa terlihat dan terasa akan sangat memenjara? Melarang apa-apa. Membatasi diri menjaga dari pandangan orang-orang. Ruangan-ruangan sempit yang menyedihkan, jangan sampai aku tinggal di dalamnya pun begitu juga dirimu. Mari menguasai waktu masing-masing. Memandang hamparan manusia dengan kesibukannya d

Obsesi

Terkadang aku merasa menjadi orang bodoh, bahkan mungkin terlalu sering pikiran itu tiba-tiba mendera. Setelah bertahun-tahun sebagai manusia  seseorang tak lagi sama begitupun orang-orang lain. Bagiku terasa seperti itu. Dalam setiap perubahan yang datang, dunia kian berbeda. Rasanya aku tak sanggup mengejar, rasanya ada sebuah tembok tinggi besar yang menambah halangan. Aku terlalu payah untuk berlari. Aku terlalu lelah untuk mengejar. Aku terlalu bodoh untuk mencoba. Yang benar adalah aku egois dan keras kepala. Tidakkah kamu merasakan itu? Wahai orang-orang di sekitarku. Aku tak lagi sama. Entah mengapa begitu hampa dan kembali merapuh. Engkau mungkin juga pernah begitu. Datang padaku lalu ceritakan dukamu. Mari berbagi dalam jatuh, bergerak, menyentuh, dan jangan menghilang lagi. Aku tidak pernah merestui itu,  tentang perubahanmu. Ketidaksamaan dalam dirimu bukan lagi menjadi candu. Tak kurangpun begitu aku tetap merasa adiksi dan kamu masih mengobsesiku.

Yang Datang Darimu

Hari ini aku sadar ketika melihat sebuah gambar hitam putih. Tentang sebuah hal sepele yang tiba-tiba saja terlintas. Ternyata aku tak lihai dalam mengidentifikasi gambar tanpa salah satu hal, yaitu warna. Tanpanya aku tak tahu tempat mana yang terekam dalam sebuah gambar. Tanpanya rupa-rupanya sebuah gambar menjadi asing bagiku. Namun di waktu yang lain, filter hitam putih menjadi suatu hal yang terfavoritkan. Tak selayaknya sebagai manusia aku berpijak hanya dalam sebuah hal sempit. Itu yang akan membuat duniaku menjadi tak lebih berwarna dari sekadar sebuah muara sungai yang bahkan sudah tercemar limbah hasil kecongkakan manusia. Itu akan membuat suatu keadaan monoton dan kosong. Tentu harusnya aku tak mau. Namun lagi-lagi monokrom selalu miliki daya pikat tersendiri. Ketika aku menulis tentangmu, sebenarnya itu tak sepenuhnya tentangmu. Hidup ini nyatanya tak melulu tentangmu dalam setiap waktunya. Ada banyak hal unik dan menarik. Ada banyak hal yang tak kuket

Suatu Waktu untuk Sebuah Orientasi Pilihan

Berapa banyak waktu yang telah terlewati? Berapa banyak keluh dan sesal karena itu? Beberapa dari kita mungkin merasa tak pernah dapat memilih. Sekalipun pilihan-pilihan itu ada namun apa yang akhirnya diputuskan terkadang bukan yang kita inginkan. Bagaiamana dengan hal itu? Apa itu sesuatu yang salah? Aku salah satu dari sekian persen jumlah manusia yang merasa bersalah akan waktu. Bagaimana cara menghargainya rasanya tak pernah menjadi sebuah ketepatan. Lalu kini aku malu, aku semakin tua namun tak banyak yang berubah begitu saja. Apa tetap menjadi seperti kemarin adalah benar-benar tak apa? Aku suka menjelajahi setiap ingatan yang tercatat. Kadang begitu manis, kadang begitu pahit. Ada sesuatu yang lebih dari rasa itu hingga tak ada bosan yang bersarang. Aku ingin titip sesuatu untuk masa depan, dialah sejarah. Masa yang gila. Masa yang bermakna. Lalu masa yang tak ternilai. Bagaimana caranya mengulang? Cerita itu menjadi suatu ujung yang tak kuketahui. Ter

The Savior is You

Seseorang berada dalam ruang paling gelap. Di dalamnya ada udara kosong dan kesunyian. Lalu tiap-tiap suara yang padam mengeluh. Begitupun molekul cahaya tiada yang bertahan saat itu. Ada banyak bimbang yang berkeliaran. Mondar-mandir dari ujung selatan ke utara. Tiada aroma yang orang itu temukan. Karena tak seorangpun singgah di dalamnya selain dirinya sendiri. Seseorang itu pernah bertemu denganmu. Menyapa di bawah langit pagi yang beranjak tengah hari. Menanyakan siapa namamu, rumahmu, dan siapa kamu. Hingga dia utuh mengenal sosokmu yang bukan sekadar bayangmu. Kalian pernah bertemu lagi di sebuah tempat paling asing dalam ukuran usia manusia. Ketika dirimu mengeluh dan sakit, dia datang. Bersama ribuan molekul air yang memecah di atas tanah. Itulah mula kehidupanmu yang baru. Sejak orang itu datang, keluhmu bertambah banyak ketika engkau bersuara. Engkau melepaskan segala yang telah lama terpenjara. Engkau yang awalnya diam menjadi sosok yang terbuka. Menyenangka

A Life : Manusia dengan Kehidupan

Apa yang tak pernah tumbuh? Yang kusemogakan adalah ketidaksukaan terhadap hidup. Bagaimana bisa manusia hidup dalam rasa tidak suka jika hal demikian terjadi? Pernah dengar bahwa " Hidup hanya menunda kekalahan " ? Di mana bisa kita temukan itu jika bukan pada kehidupan masing-masing? Aku yakin semua manusia pernah pedih dan kalah dalam waktu serta titik tertentu. Namun akupun menemukan banyak orang bangkit dan hidup kembali. Bagi beberapa orang hidup adalah untuk bangkit dari kekalahan, hidup kembali dari kematian, dan mencari jalan untuk sembuh. Sebagai manusia yang banyak mengeluh, banyak hari yang kuanggap adalah kekalahan. Dan seketika itu aku merasa mati sebagai manusia yang memiliki kehidupan. Biar banyak kata yang orang perdengarkan dan tuliskan namun rasanya tidak ada yang mampu begitu saja menjadi udara yang baru untuk membawaku merasakan hidup. Aku manusia rumit. Ingin memahami tentang sebagai apa kehidupanku ini. Di mana aku menemukan diriku, dala

Jika Aku Boleh Meminta

Aku mengingatmu dalam hujan yang   tak pernah mengering. Tidak pernah ada tanah yang merasa cukup ketika ia datang, meminta lagi dan lagi. Maka dari itu, aku menirunya. Aku juga ingin hidup dari hujan. Hanya saja kepentingan-kepentingan itu memang berbeda. Tak memandang waktu dan keadaan, asalkan tercukupi. Lalu, di mana kini aku akan menemukanmu? Selain di dalam rintik yang membekas, di seluruh kota tempatku berjalan, engkau membekas dalam jangkauan tanganku. Melambai di bawah langit kota yang seketika menggelap setiap sore. Lalu aku pulang tanpa membawamu atau sekadar membawa aromamu, namun yang kucuri hanyalah ingatan tentang siluetmu. Begitu abu-abu namun tidak memudar. Pada setiap detik yang aku temui, kamu berlarian. Di luar kuasaku kamu datang, tidak memandang keadaanku hari ini. Entah sedang baik atau buruk namun kamu tetap datang. Kamu semakin berani ketika aku begitu payah, semakin sering muncul, semakin keras suaramu. Aku berkhayal kamu mengajakku berbicara. Dan

UNTUK DIRIKU YANG HIDUP SAMPAI DETIK INI

Untuk diriku yang hidup sampai detik ini, Aku sampaikan. Apakah benar bahwa separuh jiwa itu dapat pergi? Lalu apa itu dapat kembali pula? Sejujurnya aku berpikir, merasakan, dan mungkin benar bahwa sesuatu akan selalu hilang dari dalam diriku. Sedikit maupun banyak, tentunya ini mengganggu. Bagiku, aku bahkan tak lebih baik dari kemarin. Sejak beberapa hal itu hilang, ada sesuatu yang tak dapat aku nikmati sebagai makhluk bebas. Di mana aku dapat menemukan diriku? Di mana cerminan sesungguhnya? Aku tak pernah mau lepas dari kemarin. Bukan karena kemarin terlalu sia-sia namun mungkin karena ada banyak aroma yang tak tergantikan begitu saja. Sekalipun aku menemukan benang untuk menggenapi yang tak pernah bersedia tinggal, hingga ada lubang sebesar benih gelap dalam diriku. Aku mau untuk selalu berbagi dan terbuka dengan dunia anehku. Yang tak seorangpun mau tinggal di dalamnya, mungkin begitu menurut pikirku, namun mungkin juga tidak menurut makhluk bebas lainnya. Sehi