Langsung ke konten utama

Pulang


“I write for my little soul”

Pernahkah engkau merasakan? Tak dapat menjadi dirimu sendiri dan penuh kepalsuan. Itu datang dalam waktu yang sangat-sangat dalam. Ketika engkau banyak mendengarkan kata-kata orang namun tak mampu mendengarkan dirimu sendiri.

UJUNGNYA.

Sampai engkau ingin berteriak dengan lantang pada akhirnya. Sampai engkau ingin meremukkan kaca jendela rumahmu. Sampai engkau ingin membanting pigura kesayanganmu. Sampai engkau ingin mematahkan harta berhargamu, hati yang terlanjur remuk.

Saat engkau sadar tak satu pun ada yang memperhatikanmu, kecuali Tuhan. Seolah tak ada yang dapat mengertikan betapa sulitnya keadaan jiwamu. Ketika tuntutan-tuntutan terasa begitu menekan. Ketika angka dan perbandingan itu membuatmu muak dan ingin pergi ke negeri jauh. Namun, kakimu bergetar hebat dan seakan tak kuat berdiri.

Engkau jatuh sejatuh-jatuhnya pada lubang paling dalam. Mengutuk kehidupan dan menangisi hari-hari kemarin. Meyaksikan kehancuran hari ini sekaligus esok. Namun tak satupun orang peduli apalagi mengerti.

Engkau selalu memikirkan satu nama yang mungkin menolongmu dari semua rasa bersalah itu. Namun ia tak kunjung datang dan engkau terlalu lelah untuk meminta. Engkau tak sanggup melepaskan semuanya namun engkau begitu menginginkannya.

Engkau berharap tak menjalani hidup penuh kesia-siaan. Namun tak menghendaki mati juga. Engkau terlalu penakut untuk hal itu.

Sayang,
Engkau hanya perlu pulang. Benar-benar pulang. Menemukan memori di mana engkau pernah menjalani hari segelap ini. Jangan biarkan hatimu menua dan mati. Engkau sungguh hanya perlu pulang.
Kemanakah engkau harus pulang?
Tentu engkau lebih mengetahui tempat itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Seseorang di Masa Mendatang

Kita berjalan jauh untuk mencapai dekat. Ketika waktu tidak bertentangan, aku bersyukur kita bukan jalan yang berseberangan. Kita jalan yang beriringan kendati aku dan kamu tidak terlahir dalam keadaan yang sama. Entah kapan suatu masa itu datang, kita pasti berdampingan dengan perbedaan. Maka mari berdamai dalam penerimaan. Sesuatu yang kalau-kalau jatuh akan kita tangkap bersama. Sesuatu yang kalau-kalau hilang akan kita temukan bersama. Hidup tak pernah sedatar stadion ibu kota. Hidup tak pernah selalu hijau bak rumput yang terpangkas rapi di atasnya. Namun kita akan menanam dan menuai tanaman yang sama. Sebuah tanaman yang mengingatkan kita tentang pemaknaan kesabaran. Seharusnya aku dan kamu tak pernah jauh karena takdir itu sendiri yang membuat kita dekat. Bak setiap kegagalan dan percobaan, bak setiap kegagalan dan tercapainya keberhasilan setelah ratusan percobaan. Selayaknya kita mencoba berdamai atas keadaan diri masing-masing. Penerimaan itu bukan sesuatu yang tak

Bentar Nanti Aja, Ini Untuk Disimpan (Draft 28 September 2021)

 Ketinggian. Beberapa orang atau bahkan banyak orang takut dengan ketinggian. Aku sering mendengar mereka menyebutnya "phobia". Ketika aku menulis ini, aku berada di tempat yang lebih tinggi daripada kamar kosku yang hanya di lantai dua. Ini lantai lima dengan pemandangan yang luar biasa. Sebuah gedung yang terhitung baru di tempatku memutuskan melanjutkan pendidikan (tinggi?). Tentang kata "tinggi", aku teringat lirik salah satu lagu favoritku. Tetapi hatiku selalu meninggikanmu, terlalu meninggikanmu, selalu meninggikanmu. Hal-hal seperti ini terkadang membuat manusia lupa melihat ke bawah. Namun di sisi lain jika tak melihat ke bawah maka orang-orang yang memeluk fobia tidak perlu merasa takut lagi. Mereka hanya perlu meresapi betapa luar biasanya pemandangan dari ketinggian, hal-hal yang tidak dapat dilihat dari tempat yang tidak tinggi. Tidak hanya tempat tinggi yang memiliki keindahan, setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Hanya perlu hati yang la

Perjalanan Menemukan yang Tak Ditemukan

A ku benar-benar seperti ingin pergi ke negeri jauh. Merasakan dingin butiran salju. Memanjakan perasaanku sendiri. Aku terlampau senang untuk bertualang dalam kepalaku. Namun, belum ada kesempatan pasti untuk menentukan sebuah perjalanan. Apakah aku berani bepergian sendiri? Haruskah ada orang lain yang kuajak? Sebuah buku yang akan terus aku tulis setiap waktu, takdir. Sesuatu di antara yang telah kuubah dan tak dapat aku ubah. Aku ingin terus merawat dunia kecilku. Jangan terburu-buru untuk menua karena aku tak ingin terlampau cepat sakit. Masih banyak waktu yang ingin kulewati dengan kemudaan dan kebebasan. Lalu mengapa pula menjadi dewasa terlihat dan terasa akan sangat memenjara? Melarang apa-apa. Membatasi diri menjaga dari pandangan orang-orang. Ruangan-ruangan sempit yang menyedihkan, jangan sampai aku tinggal di dalamnya pun begitu juga dirimu. Mari menguasai waktu masing-masing. Memandang hamparan manusia dengan kesibukannya d