Aku
belum selesai menulisnya kemarin. Bahkan belum genap untuk satu jilid.
Kemungkinan selalu ada, setiap kelemahan adalah kemanusiaan. Aku mutlak
MANUSIA. Namun memang tidak benar menjadikannya sebuah alasan belaka. Sama
sekali bukan alasan untuk terus merasa lemah.
Aku
di sini. Berdiri kemudian mulai menyeduh secangkir kopi. Namun seringkali juga
menyeduh teh dengan dan tanpa gula. Hal sesederhana ini membuatku memahami diri
sendiri. Mengapa demikian? Aku hanya merasa aku perlu melakukan hal-hal berbeda
sesuai keadaan terbaik dan terburukku saat itu.
Ketika
aku masih menjadi anak kecil bahkan hingga sekarang, ada banyak hal-hal yang
menjadi alasan mengapa diriku terlalu mudah untuk menangis. Satu rahasia umum
ketika kita menginjak diri yang berubah-ubah, mengapa kemudian kita pernah ada
di suatu waktu bahwa menangis adalah hal yang sulit? Why I can’t cry?
Uniknya
lagi sebagai manusia terkadang ada suatu waktu tiba-tiba kita menangis,
tiba-tiba kita tertawa, dan apakah kita harus selalu menganggapnya stress? Hidup selalu pernah menjadi tak
sesuai dengan yang kita inginkan. Sesuatu yang sederhana terkadang kemudian
terlalu dibesar-besarkan dan sebaliknya. Standar dunia begitu cepat berubah.
Pikiranku
mengatakan bahwa aku akan terus menyayangi diriku sendiri. Namun aku juga ingin
hidup dalam garis waktu orang lain maka ketika itu diriku adalah bagian dari
sosok yang akan menjadi bagian dari diriku juga. Seharusnya tidak ada lagi
kamus “diri sendiri” ketika masa itu bertaut dengan diri kita masing-masing.
Kita tidak membangun cerita kita sendiri.
Mungkin
nanti, aku akan menyesal. Mungkin nanti, aku akan bersyukur. Ketika aku membuka
ingatan yang seharusnya tidak kubuka, ketika aku tidak membuka ingatan yang
seharusnya tidak kubuka. Masa bodoh dengan betapa membingungkannya perubahan.
Memang paling tepat tidak usah menanyakan hal-hal yang seharusnya kita simpan
sendiri.
Aku
membayangkan. Ketika pertengahan musim kemarau, musim penghujan, dan
musim-musim lainnya maka apakah aku akan tetap menjadi sosok yang sama?
Bagaimana dengan pikiranku saat itu? Ah, aku bodoh lagi. Aku menanyakannya
lagi.
Hal-hal
membingungkan seperti ini entah mengapa sangat menyenangkan untuk dituliskan.
Ia seperti tetes yang tidak terlihat dalam gerimis pertama setelah kemarau, ia
seperti hangat yang berhembus setelah musim penuh dingin, dan aku harap semoga
kita selalu menjadi manusia yang bersyukur.
Setiap
hari, agaknya manusia sepertiku perlu membaca diri dan mengingat.
TUHAN
AKU PULANG, AKU HARUS PULANG.
Setidak-tidaknya
untuk meyambut sebuah masa yang diharapkan banyak manusia. TOH AKU JUGA MUTLAK
MANUSIA.
27
Desember 2020
Komentar
Posting Komentar