Langsung ke konten utama

Tanpa Pamit

     Waktu telah memburu di pagi yang masih sama seperti biasanya.Seorang laki-laki sedang menyemir sepatu hitam kusutnya,memasang dasi merah marun yang sudah terlihat tua dan usang.Laki-laki itu merapikan rambut cepaknya yang sudah mulai memutih terbawa usia.Ayahku,harusnya sudah bisa menikmati masa tuanya untuk saat ini.
     “Ayah berangkat sekarang ?"
     “Iya,baik-baik di rumah.”
     Setelah dia mengatakannya,ayah mengecup keningku dan berkelana meninggalkan rumah.Meninggalkan jejak-jejak keheningan di rumah kecil ini.
***
     Tiga jam sudah aku menunggunya.Jenuh duduk di kursi meja makan dengan hidangan makan malam seadanya.Aku memasak untuknya dengan berharap dia bisa menyantapnya bersamaku.Jam dinding berdetak-detak menunjukkan pukul setengah sebelas malam.Tetapi ayah belum juga datang.Selera makanku menghilang dan justru rasa kantuk mulai menyerangku.Hawa dingin malam berhembus menusuk tulang-tulang tubuhku.Kuputuskan tetap menunggunya satu jam lagi.
     “Ayah,kenapa belum pulang ?”
     Tetapi ternyata rasa kantuk mengkhianatiku,baru dua puluh menit aku menunggunya sejak keputusanku,aku justru terlelap di meja makan tanpa sehelai selimut yang menghangatkan tubuhku.Lelah rasanya.
     “Tya.”
     Sebuah suara samar-samar terdengar oleh telingaku.Seperti mimpi akan tetapi juga terasa begitu nyata.Kini kurasakan tubuhku digendong oleh seseorang.Rasanya hangat.Kuputuskan untuk tetap menutup mata.Melanjutkan mimpiku malam ini.
***
    Kulihat cahaya berpendar-pendar di depanku.Banyak orang mengerubungi diriku.Mereka adalah kerabat,tetangga,dan teman-temanku.Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini.Sekilas kulihat Raras menatap memelas ke arahku.Gadis lugu sekaligus sahabat dekatku itu terlihat samar-samar mengelap genangan air mata di pipinya.Aku belum sadar sepenuhnya.Perlahan otakku merespon kejadian membingungkan itu dengan memutar serpihan memori masa lalu.Memori yang ingin kulupakan namun tetap bernaung di kepalaku.
    “Tya.”
    Itu masih suara yang sama.Suara lembut yang selalu kurindukan selama bertahun-tahun.Menggores cerita pedih yang kembali terbuka.Menyemaikan benih-benih keputusasaan disetiap sujudku.
***
     “Ayah pulang,Nak”
     “Ayah?Benarkah itu engkau ayah?”
     Aku bergegas menuju pintu ruang tamu,menarik gagang pintu yang berkarat.Seorang laki-laki berdiri di depanku.Seseorang yang kukenal namun dia terlihat berbeda.Dia terlihat lebih muda dibanding biasanya.
     “Ayah ?”
     Aku tercekat.Aku baru menyadari bahwa itu bukan ayah.Itu bukan ayah yang sesungguhnya.Mimpiku memilih berakhir dan mulai menyadarkanku.
***
      Lima tahun yang lalu ibuku meninggalkan dunia ini.Membawa sekeping hatiku yang bersemayam bersamanya.Membongkar sejuta mimpi yang telah kurangkai indah.Malam itu tanggal ketiga belas bulan Maret.Aku sendiri di rumah kecilku.Menunggu sepasang suami istri yang sibuk bekerja.Merekalah orang tuaku yang bersusah payang berjuang di tengah biadabnya dunia ini.Ayah dan ibu adalah karyawan di sebuah pabrik.
     Hampir pukul sebelas malam.Tetapi mereka tak kunjung pulang,kupikir jadwal shift lembur hanya sampai pukul sepuluh.Akan tetapi nyatanya mereka tak kunjung pulang.
     Denting jarum jamlah yang menemaniku.Bersama perasaan resah yang mulai menyergap.Bukan aku takut berada di rumah sendirian tetapi aku lebih takut tentang keadaan ibu.Penyakit yang menggeroggotinya dan sering dikeluhkannya.Tepat pukul sebelas seseorang mengetuk pintu rumahku.Mengisi harapan yang hampir pupus.
     “Tya.”
     Suara serak itu memanggilku.
     “Ayah?Apakah itu engkau ayah?”
     Kutarik gagang pintu ruang tamu yang berkarat,kujumpai seorang laki-laki dengan seorang perempuan digendongannya.Wajahnya penuh keputusasaan.Bagai petir telah menyambar segalanya.Perempuan itu ibuku dan laki-laki itu adalah ayahku.
     Tanggal ketiga belas bulan Maret tahun kelima setelah kematian ibu.Ayah menyusulnya.Membiarkanku sendiri sebatang kara.Harusnya aku mampu tetapi nyatanya aku tak pernah siap.Kedua orang yang menyayangiku akhirnya harus berpulang.Menyisakan sesak yang tak berujung.Harusnya aku tahu malam itu malam terakhir ayah menggendongku.Harusnya aku mampu melawan kantukku dan menemaninya makan malam bersamaku.Menyantap hidangan yang tak pernah kuhidangkan sebelumnya.
     Aku terlalu bodoh untuk tidak memperhatikan ayah.Membiarkannya pulang tanpa ada yang membukakan pintu.Tidak pernah mengetahui pola makannya.Aku selalu menganggap ayah baik-baik saja.Padahal dia tak pernah sebaik sebelumnya.Ayah sama seperti ibu,memiliki riwayat penyakit ganas yang merenggut mereka dariku.Membuat diriku kehilangan mereka.Tanpa sebelumnya aku memperhatikan mereka.
     “Tya.”
     Suara yang berbeda memanggilku,rupanya Raras.Membangunkanku dari ketidakpastian mimpi itu.Kubuka perlahan mataku.Sesosok jasad telah membujur kaku di hadapanku.Tanpa pamit sosok itu telah meninggalkanku.Merontokkan seluruh pertahananku.
     “Ayah,ibu...mengapa kalian tidak pamit dulu?”



Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Seseorang di Masa Mendatang

Kita berjalan jauh untuk mencapai dekat. Ketika waktu tidak bertentangan, aku bersyukur kita bukan jalan yang berseberangan. Kita jalan yang beriringan kendati aku dan kamu tidak terlahir dalam keadaan yang sama. Entah kapan suatu masa itu datang, kita pasti berdampingan dengan perbedaan. Maka mari berdamai dalam penerimaan. Sesuatu yang kalau-kalau jatuh akan kita tangkap bersama. Sesuatu yang kalau-kalau hilang akan kita temukan bersama. Hidup tak pernah sedatar stadion ibu kota. Hidup tak pernah selalu hijau bak rumput yang terpangkas rapi di atasnya. Namun kita akan menanam dan menuai tanaman yang sama. Sebuah tanaman yang mengingatkan kita tentang pemaknaan kesabaran. Seharusnya aku dan kamu tak pernah jauh karena takdir itu sendiri yang membuat kita dekat. Bak setiap kegagalan dan percobaan, bak setiap kegagalan dan tercapainya keberhasilan setelah ratusan percobaan. Selayaknya kita mencoba berdamai atas keadaan diri masing-masing. Penerimaan itu bukan sesuatu yang tak

Bentar Nanti Aja, Ini Untuk Disimpan (Draft 28 September 2021)

 Ketinggian. Beberapa orang atau bahkan banyak orang takut dengan ketinggian. Aku sering mendengar mereka menyebutnya "phobia". Ketika aku menulis ini, aku berada di tempat yang lebih tinggi daripada kamar kosku yang hanya di lantai dua. Ini lantai lima dengan pemandangan yang luar biasa. Sebuah gedung yang terhitung baru di tempatku memutuskan melanjutkan pendidikan (tinggi?). Tentang kata "tinggi", aku teringat lirik salah satu lagu favoritku. Tetapi hatiku selalu meninggikanmu, terlalu meninggikanmu, selalu meninggikanmu. Hal-hal seperti ini terkadang membuat manusia lupa melihat ke bawah. Namun di sisi lain jika tak melihat ke bawah maka orang-orang yang memeluk fobia tidak perlu merasa takut lagi. Mereka hanya perlu meresapi betapa luar biasanya pemandangan dari ketinggian, hal-hal yang tidak dapat dilihat dari tempat yang tidak tinggi. Tidak hanya tempat tinggi yang memiliki keindahan, setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Hanya perlu hati yang la

Perjalanan Menemukan yang Tak Ditemukan

A ku benar-benar seperti ingin pergi ke negeri jauh. Merasakan dingin butiran salju. Memanjakan perasaanku sendiri. Aku terlampau senang untuk bertualang dalam kepalaku. Namun, belum ada kesempatan pasti untuk menentukan sebuah perjalanan. Apakah aku berani bepergian sendiri? Haruskah ada orang lain yang kuajak? Sebuah buku yang akan terus aku tulis setiap waktu, takdir. Sesuatu di antara yang telah kuubah dan tak dapat aku ubah. Aku ingin terus merawat dunia kecilku. Jangan terburu-buru untuk menua karena aku tak ingin terlampau cepat sakit. Masih banyak waktu yang ingin kulewati dengan kemudaan dan kebebasan. Lalu mengapa pula menjadi dewasa terlihat dan terasa akan sangat memenjara? Melarang apa-apa. Membatasi diri menjaga dari pandangan orang-orang. Ruangan-ruangan sempit yang menyedihkan, jangan sampai aku tinggal di dalamnya pun begitu juga dirimu. Mari menguasai waktu masing-masing. Memandang hamparan manusia dengan kesibukannya d