Langsung ke konten utama

Daun Maple Pemburu Petrichor

     Lima tahun sudah ayah kehilangan gairah hidup.Dirinya yang dulu begitu hangat dan menyenangkan menjelma menjadi ayah yang dingin dan banyak diam.Sering aku melihatnya melamun di dekat jendela ruang tamu.Duduk termenung di kursi teras rumah atau bahkan membuka lebar-lebar jendela dekat balkon kamarnya.Dia lebih banyak diam dan menjawab singkat perihal pertanyaanku.
     Namun menjelang akhir musim kemarau yang panjang,ayah terbangun dari perbedaan.Suatu malam yang tenang dia menghampiriku di teras depan rumah.Mengajakku menyeruput secangkir kopi dan berbincang.Dia tersenyum padaku.Sungguh,aku merasa ayah terlahir kembali.Menjadi seperti ayah yang dulu,hangat dan menyenangkan.Ayah mulai bercerita tentang sebuah buku harian usang di tangannya.Dia menyuruhku membukanya.Lalu aku baru tahu,buku harian itu adalah milik almarhum ibuku.Pada halaman pertama kulihat foto ayah,ibu,dan diriku yang masih bayi di bawah sebuah pohon maple yang tak berdaun.Sedangkan latar belakang fotonya aku kurang mengetahui tetapi yang pasti tempat itu indah sekali.Kami terlihat sebagai keluarga kecil yang begitu berbahagia.Kemudian kubuka halaman selanjutnya.Di sana terdapat tulisan-tulisan tangan ibu.Rupanya tulisan itu mengisahkan tentang petualangan mereka kala aku belum terlahir di dunia ini.Aku berlanjut ke halaman berikutnya tetapi ayah menahan tanganku.
     "Belum saatnya."
     "Mengapa ?"
     "Sebelum Ayah menjawab pertanyaanmu,berjanjilah untuk selalu menemani ayah."
     Beberapa detik aku terdiam,tak mengerti apa yang ayah katakan.Hingga kuucap jawaban "pasti" untuk satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini.Ayah kemudian menceritakan hari-hari menyenangkannya bersama ibu.Dia menutup rapat-rapat kembali buku harian itu.Menyisakan tanda tanya di dalam benak dan pikiranku.Hingga ayah mengajakku melanjutkan petualangan hebat ibu.
     "Temani Ayah berpetualang lagi.Temani Ayah mewujudkan mimpi ibumu." Dia mengucapkannya dengan sedikit bergetar namun tetap terlihat tenang.Kurasakan aura ketulusan dari hatinya yang paling dalam.
"Pasti,aku telah berjanji menemanimu,Ayah." Aku memeluk ayah membiarkan sentuhan hangatnya membelai helaian rambut lurusku.Malam begitu tenang mengisyaratkan dimulainya petualangan yang baru esok hari.
***
     Ayah menjinjing dua tas besar berisi perbekalan kami.Dia membawa semua perlengkapan ke mobil dan mengunci rapat pintu rumah.Memeriksa kendaraan yang akan membawa kami menjelajahi petualangan ini.Setelah semuanya siap,kami berangkat meninggalkan kota.Menuju suatu tempat yang penuh tanda tanya dalam pikiranku.
     "Ibu,saat ini aku merindukanmu."
Rumahku sudah tertinggal jauh di belakang kami.Kunikmati perjalanan ini bersama ayah.Sebuah gantungan kunci daun maple berwarna jingga bergoyang-goyang di depanku.Baru kali ini aku melihatnya,kurasa aku harus menggapainya.Kulihat seksama daun maple itu.Di belakangnya terukir sebuah angka yaitu 101000.Kuduga itu adalah sebuah kode tanggal,7 Oktober 2000.Tahun kelahiranku.
***
     Ayah terus menyeru padaku.Berteriak-teriak menyemangati anak semata wayangnya ini.Sungguh aku hampir pingsan menghabiskan setiap jengkal langkah kakiku.Napasku terenggah-enggah tanda bahwa energiku telah terkuras banyak.Tetapi aku harus berhasi menaklukkan medan yang cukup terjal ini.
     Ayah sudah berada di depanku bersama ransel hitam dipunggungnya.Sedangkan aku masih kepayahan melewati medan yang cukup terjal ini.Lagi pula ini salahnya,mengapa baru sekali ini mengajakku mendaki seperti ini.Hingga aku tampak seperti gadis bodoh yang tak mengerti tata cara mendaki yang benar.Ingin sekali kuminta ayah menggendongku saja.Tapi mana mungkin.Dia justru sudah menggendong ransel hitam di punggungnya.
Jika saja ibu ada di sini.Dia pasti tak akan membiarkanku kelelahan mendaki medan terjal ini.Namun,aku tahu ibu pasti tak akan ada di sini menemani perjalananku bersama ayah.Setelah berjuang menggerahkan seluruh energi tubuh mungilku,akhirnya aku mampu mencapai tangan ayah.Kami telah tiba di sebuah tempat yang luar biasa indahnya.
     “Ayah...” Aku mengingat tempat ini.
***
     Seorang bayi perempuan tersenyum menggemaskan ke arah lensa kamera.Daun maple memilih gugur ketika kamera mengabadikan foto keluarga kecil itu.Menambah kebahagiaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.Itulah keluarga kecilku.Pada musim gugur yang begitu terasa menenangkan,ayah berjanji mengajak ibu mengujungi tempat impiannya.Menikmati udara yang begitu menenangkan sambil berjalan di bawah guguran daun-daun maple di musim gugur Kanada.
     Barisan pohon maple seakan menjadi bukti bahwa mereka menyambut kami dengan bahasa yang istimewa.Menjadikan setiap senyum di wajah ibuku semakin manis saja.Kami berlibur ke Kanada selama seminggu.Setiap hari kami mengunjungi sebuah taman pinggir kota berbariskan pohon maple.Kami pergi di musim gugur yang mengagumkan.Ketika dedaunan mulai membuat hujan dengan eloknya.Hujan dedaunan maple yang berwarna terang menyala.
     Hingga pada akhirnya kami tiba di penghujung musim.Kami mengunjungi taman itu lagi.Merasakan sensasi istimewa yang kami dapatkan kala berjumpa dengan guguran daun maple.Namun ketika itu hanya tertinggal sedikit daun maple yang tersisa di rantingnya.Kami datang ketika daun maple terakhir jatuh dari persinggahannya.Ibu mengambil banyak gambar saat pohon maple telah resmi kehilangan habis daunnya.Berfoto bersama di bawah pohon maple yang tinggal rantingnya.Kami berjalan-jalan menikmati penghujung musim gugur.Menyaksikan hamparan guguran daun maple yang eksotis.
     Hingga daun maple terakhir sebuah pohon yang terletak paling ujung jatuh menutupi wajah mungilku.Aku menangis karena tak dapat melihat wajah ayah dan ibuku.Sedangkan mereka justru tertawa melihatku yang menangis.Ibu mengambil daun maple itu dari wajahku.Aku pun lega karena bisa melihat mereka lagi.Karena aku terlalu takut untuk tidak bersama dengan keduanya.
***
     Tempat ini seperti mendeskripsikan cerita ibu kepadaku.Setiap detail yang terpampang nyata melukisan setiap kata perempuan yang kurindu itu.Ibu,bukankah kau ingin mengajakku ke tempat yang indah ini ?Namun mengapa hanya ayah yang mengantarkanku saat ini?Mengapa engkau pergi?Ibu,aku merindukanmu.Ayah menarik tanganku.Dia tersenyum sambil membisikkan sebuah kalimat di telingaku.
     “Kita sudah sampai,Kiiara.”
     Kemudian dia meletakkan tas ransel hitamnya mulai mempersiapkan segalanya.Mengingat hari yang mulai petang ayah menyiapkan tempat istirahat untuk malam ini.Sungguh,tempat ini persis dengan tiap deskripsi yang ibu katakan.Terdapat sebuah rumah pohon di pegunungan yang tenang ini.Di sekelilingnya merupakan sebuah tanah rata namun jalan menuju ke sini terhitung cukup terjal.Juga terdapat bunga krisan di sekitarnya.Namun sayang bunga krisan itu terlihat mengering karena musim kemarau yang panjang ini.
     Ayah memeriksa ke atas rumah pohon,melakukan survei apakah rumah pohon itu masih bisa digunakan untuk tempat berbaring malam ini.Setelah beberapa menit ayah memberi kode untuk membawa ransel ke atas rumah pohon.Sungguh ini akan menjadi malam yang sangat menyenangkan.Aku sudah membayangkan terlelap di rumah pohon kecil di pegunungan ini.Malam yang begitu damai di bawah kerlip bintang-bintang.
***
     Ayah tercengang melihat ibu memasukkan sebuah plastik besar yang sudah terisi penuh.Padahal sebentar lagi kami akan kembali ke Indonesia.Sedangkan aku terlelap di gendongan ibu yang menghangatkan.Aku bahagia menjadi bagian keluarga kecil ini.
     “Ini untuk apa ?”
     “Untuk Kiiara nanti di Indonesia.Kau tahu tempat yang cocok untuk permainan ini bukan ?” Ayah tersenyum mulai mengetahui rencana kecil ibuku.
***
     Cahaya matahari perlahan masuk menembus dinding kayu rumah pohon tempatku terlelap.Membangunkanku agar dapat sepuasnya menghirup udara pagi hari ini.Langit terlihat bersih tanpa gumpalan awan sedikitpun.Menandakan bahwa cuaca akan cerah dengan udara panasnya di siang hari.Penghujung musim kemarau tahun ini.Aku bergegas menuruni tangga membantu ayah mempersiapkan sarapan.Berbekal kompor medan dan bahan makanan seadanya.Kami menyantap sarapan sambil menikmati suasana pagi di pegunungan.
     “Ayah,sebenarnya apa yang kita cari di sini ?”
     “Mimpi ibumu.Daun maple pemburu petrichor.”
     Ayah sudah menghabiskan sarapannya.Kemudian mengambil buku harian ibu dan memintaku membukanya.Menceritakan semua tentang yang telah mereka lalui dan tentang mimpi ibu.Mimpi yang belum terwujud hingga akhir hayatnya.
     “Dia ingin merasakan guguran daun maple di tempat ini bersamaan dengan petrichor bersama kita.Meski dia tahu pohon maple tak mungkin tumbuh di Indonesia tetapi dia telah membawa seplastik daun maple dari Kanada sewaktu kita berlibur di sana tujuh belas tahun lalu.”
     Ayah menggenggam tanganku.Membisikkan bahwa kita akan melakukannya hari ini.Kami mulai menyiapkan skenario itu.Pagi,siang,hingga awan gelap muncul ketika matahari mulai beranjak dari titik tertingginya.Semua persiapan telah selesai tinggal menunggu hujan menjamah bumi.Namun awan gelap rupanya enggan menjatuhkan muatannya.Kami harus menunggu.
     Sebelum senja menampakkan batang hidungnya.Gerimis mulai mencium bumi.Ayah memelukku di tengah hamparan tanah datar pegunungan yang tandus.Gerimis menjelma menjadi hujan yang semakin deras.Membasahi bumi menciptakan aroma petrichor yang menenangkan jiwa.Ayah menarik tali di tangannya.Jaring yang terpasang di atas kami seketika menumpahkan muatannya.Daun-daun maple berguguran menyatu dengan bulir air hujan.Aroma petrichor perlahan memasuki relung yang kosong selama ini.Membangkitkan memori tentang ibu dan daun maple yang mengering menjadi perantara hadirnya di sini.Aku terhanyut dengan suasana yang tak bisa kujelaskan.Air mataku mulai menyatu dengan guguran rahmat Tuhan.Ayah semakin mengeratkan pelukannya.
     “Ibumu sudah mewujudkan mimpinya bersama kita di sini.”
     Alam mengucapkan selamat datang yang begitu ramah pada petrichor.Menumbuhkan harapan baru tentang kehidupan di setiap sel tumbuhan.Aroma yang membuatku tenang.Membuatku merasakan kembali indahnya masa bersama ibu.Sedangkan guguran daun maple menjadi bukti kesetiaan ayah kepada ibu meski raga telah terpisah di antara dua dunia.
“Ibu,aku telah menuntaskan mimpimu.Bersama ayah,daun maple kesukaanmu,dan aroma petrichor yang luar biasa menenangkan jiwaku di tempat impianmu ini.Aku tahu engkau sedang melihatku.”
Quotes : Petrichor tidak akan pernah melukai jiwa dan hati manusia tetapi ia justru mengulang kenangan terindah yang menenangkanmu.Seperti daun maple yang melambangkan kesetiaan yang selalu ikhlas meski dia akan terjatuh ke bumi menemani petrichor.


     Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Seseorang di Masa Mendatang

Kita berjalan jauh untuk mencapai dekat. Ketika waktu tidak bertentangan, aku bersyukur kita bukan jalan yang berseberangan. Kita jalan yang beriringan kendati aku dan kamu tidak terlahir dalam keadaan yang sama. Entah kapan suatu masa itu datang, kita pasti berdampingan dengan perbedaan. Maka mari berdamai dalam penerimaan. Sesuatu yang kalau-kalau jatuh akan kita tangkap bersama. Sesuatu yang kalau-kalau hilang akan kita temukan bersama. Hidup tak pernah sedatar stadion ibu kota. Hidup tak pernah selalu hijau bak rumput yang terpangkas rapi di atasnya. Namun kita akan menanam dan menuai tanaman yang sama. Sebuah tanaman yang mengingatkan kita tentang pemaknaan kesabaran. Seharusnya aku dan kamu tak pernah jauh karena takdir itu sendiri yang membuat kita dekat. Bak setiap kegagalan dan percobaan, bak setiap kegagalan dan tercapainya keberhasilan setelah ratusan percobaan. Selayaknya kita mencoba berdamai atas keadaan diri masing-masing. Penerimaan itu bukan sesuatu yang tak

Bentar Nanti Aja, Ini Untuk Disimpan (Draft 28 September 2021)

 Ketinggian. Beberapa orang atau bahkan banyak orang takut dengan ketinggian. Aku sering mendengar mereka menyebutnya "phobia". Ketika aku menulis ini, aku berada di tempat yang lebih tinggi daripada kamar kosku yang hanya di lantai dua. Ini lantai lima dengan pemandangan yang luar biasa. Sebuah gedung yang terhitung baru di tempatku memutuskan melanjutkan pendidikan (tinggi?). Tentang kata "tinggi", aku teringat lirik salah satu lagu favoritku. Tetapi hatiku selalu meninggikanmu, terlalu meninggikanmu, selalu meninggikanmu. Hal-hal seperti ini terkadang membuat manusia lupa melihat ke bawah. Namun di sisi lain jika tak melihat ke bawah maka orang-orang yang memeluk fobia tidak perlu merasa takut lagi. Mereka hanya perlu meresapi betapa luar biasanya pemandangan dari ketinggian, hal-hal yang tidak dapat dilihat dari tempat yang tidak tinggi. Tidak hanya tempat tinggi yang memiliki keindahan, setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Hanya perlu hati yang la

Perjalanan Menemukan yang Tak Ditemukan

A ku benar-benar seperti ingin pergi ke negeri jauh. Merasakan dingin butiran salju. Memanjakan perasaanku sendiri. Aku terlampau senang untuk bertualang dalam kepalaku. Namun, belum ada kesempatan pasti untuk menentukan sebuah perjalanan. Apakah aku berani bepergian sendiri? Haruskah ada orang lain yang kuajak? Sebuah buku yang akan terus aku tulis setiap waktu, takdir. Sesuatu di antara yang telah kuubah dan tak dapat aku ubah. Aku ingin terus merawat dunia kecilku. Jangan terburu-buru untuk menua karena aku tak ingin terlampau cepat sakit. Masih banyak waktu yang ingin kulewati dengan kemudaan dan kebebasan. Lalu mengapa pula menjadi dewasa terlihat dan terasa akan sangat memenjara? Melarang apa-apa. Membatasi diri menjaga dari pandangan orang-orang. Ruangan-ruangan sempit yang menyedihkan, jangan sampai aku tinggal di dalamnya pun begitu juga dirimu. Mari menguasai waktu masing-masing. Memandang hamparan manusia dengan kesibukannya d