Langsung ke konten utama

Skenario Asa Si Anak Desa

Skenario Asa  Si Anak Desa


     Prihatini menatapku,memberi kode untuk mengerjai Suprih dengan segera berlari.Aku hanya tersenyum mengiyakan rencana murahan itu.Karena sudah tak terhitung berapa kali kami selalu melakukannya sepulang sekolah.Aku berbisik di telinganya,hitungan satu sampai tiga.Kaki kecil kami melangkah cepat di bawah pohon bambu di atas jembatan.Kamilah tiga serangkai yang jahil.Tiga anak perempuan yang saat itu masih mengenyam bangku sekolah dasar.
     "Hahaha..Ayo Suprih kejar kami!"
     Prihatini tertawa melihat Suprih yang jauh tertinggal di belakang kami.Sedangkan Suprih memasang wajah garang seolah kesal dengan ulah kami.Namun pada akhirnya dia melangkah mengejar kami.Memang semua terasa konyol tetapi itulah kami.Sesering apapun kami saling mengerjai namun kami tidak pernah saling bertengkar.Semua adalah bumbu-bumbu manis yang akan kami ingat ketika dewasa nanti.
     Kami tumbuh bersama pada masa sekolah dasar yang konyol itu.Berbagai peristiwa mewarnai petualangan persahabatan kami.Pernah suatu ketika di mana hari itu kami pulang pagi karena guru-guru mengadakan rapat kami berpetualang.Prihatini mengajak aku dan Suprih memetik jambu biji di tegalan milik orang.
     Tegalan itu terletak di sebelah selatan jembatan yang selalu kami lewati.Kami menyeberangi sungai dengan melepas sepatu lalu berjalan menerobos tanaman kunyit yang tumbuh di bawah naungan pohon bambu.Setelah sampai pada suatu titik di samping gua kapur kami mendaki undakan tegalan.Cukup sulit memang mencapai pohon jambu biji itu karena terdapat semak di sekitar kami apalagi kami memakai rok.Rasa-rasanya kami sudah seperti petualang saja.Melewati tegalan yang semaknya rimbun hingga gatal menyerang kaki-kaki kecil kami.
     "Prih,masih jauh ya pohon jambunya?"
     "Enggak kok,tuh udah kelihatan."
     "Wah,besar-besar juga buahnya,Prih.Kok kamu bisa tahu ada pohon jambu di sini?"
     "Hehe,kemarin sebenarnya Nonok sama Andi yang cerita.Terus ngajak petik jambu hari ini tapi kita dahuluin mereka."
     "Ada-ada aja kamu,Prih.Bagaimana jika nanti mereka tahu?Bisa-bisa habislah kita."
     "Tenang,aku bisa atasi mereka."
     Prihatini perlahan memanjat pohon jambu biji dan memetik buanya.Aku dan Suprih yang berada di bawahnya sibuk menangkap dan memungut buah jambu biji.Prihatini sangat cekatan naik dan menuruni pohon jambu itu.Setelah dirasa cukup,kami berisirahat di bawah pohon lalu memakan buah jambu biji itu.
     "Heii!Kalian!"
     "Gawat!Nonok dan Andi datang!"
     "Sial,ya sudah kita lari saja aku tak berani menghadapi mereka."
     "Ah,pembohong kau Prih,katanya mau mengatasi mereka."
      "Sudah,ayo kita lari."
     Aku,Prihatini,dan Suprih berlari memutar menghindari kedua anak lelaki itu.Kami melewati jalan menuju jembatan yang tidak akan bertemu dengan keduanya.Kami berlari-lari menerobos semak dan tanaman kunyit.Sementara Nonok dan Andi dengan cepat sudah mengejar di belakang kami.Prihatini justru tertawa-tawa sambil memimpin langkah lariku dan Suprih.Dia memang tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya.
     "Nonok! Andi!Maafkan kami,hahaha..."
***
     Pada akhirnya Nonok dan Andi berhasil menyusul kami.Mereka tidak mengapa-apakan kami.Hanya saja Nonok marah-marah sembari meminta bagiannya.Sementara Prihatini masih bisa memamerkan deretan giginya ketika Nonok merampas jerih payahnya.
     Rasa marah itu hanya sementara sedangkan setelahnya kami berjalan pulang bersama menyusuri hutan bambu.Menyantap buah jambu biji sambil sesekali tertawa membahas pengkhianatan itu.Amarah hanyalah sementara sedangkan persahabatan kami adalah asa untuk terus bersama dalam rasa hangat pertemanan.
     Kami terus tumbuh bersama menikmati masa kecil.Berangkat dan pulang sekolah bersama melewati hutan bambu dan jembatan.Belajar kelompok sembari kemudian bermain petak umpet di sekitar rumah Prihatini.Hingga berburu udang dan ikan di sungai bawah jembatan yang sering kami lewati.
     Hampir tujuh tahun sudah kami lewati bersama.Mulai dari TK hingga hampir lulus SD.Ujian nasional sudah menantang kami.Materi terus dikejar hingga kami tidak memiliki waktu bersama untuk bermain.Ujian nasional berjalan dengan lancar dan semua murid dinyatakan lulus.Tibalah waktu perpisahan yang benar-benar hampir memisahkan kami.
     Aku dan Prihatini dapat melanjutkan ke jenjang SMP di desa kami.Sedangkan Suprih melanjutkan ke pondok pesantren.Sayangnya Andi dan Nonok lebih memutuskan untuk tidak melanjutkan karena terkendala biaya dan tidak ingin menambah beban orang tua mereka.
     Jadilah aku dan Prihatini bersekolah di SMP yang sama namun ternyata kami masuk di kelas yang berbeda.Ak masuk di kelas VIIB sedangkan Prihatini masuk di kelas VIIE.Kendati berbeda kelas kami tetap menjaga persahabatan itu.Kami masih berangkat dan pulang bersama meskipun tak sering bertemu selain kedua kesempatan itu.
     Belum genap satu tahun menempuh pendidikan di pondok pesantren,Suprih sudah tidak kuat.Dia memutuskan keluar karena tidak kerasan jauh dari orang tuanya.Dia juga tidak melanjutkan pendidikan karena yang membiayai pendidikannya di ponpes adalah pamannya yang tinggal di Cirebon.Pamannya tidak bisa memenuhi kebutuhan Suprih untuk sekolah sama dengan kami.
     Tiga tahun berlalu.Aku dan Prihatini sudah menempuh hampir seluruh tahapan di SMP.Kami saling menemukan sahabat baru dan tanpa kami rasa persahabatan yang dulu kami bangun dengan pondasi kuat perlahan mulai runtuh.Kami sudah tidak sering berangkat dan pulang bersama.Aku lebih sering berangkat lebih pagi dan Prihatini berangkat agak siang.Apalagi jadwal jam tambahan kami tidak sama karena perbedaan kelas.
      Namun bukan berarti sama sekali kami tidak bertemu.Setiap Jumat kami masih berjalan pulang bersama.Sering aku ingin mengajak Prihatini memetik buah jambu biji di tempat yang dulu kami datangi.Tetapi semua terasa tak begitu asik tanpa kehadiran Suprih.Jalan yang kami lewati ketika pulang dari SMP sama dengan jalan yang kami lewati ketika SD.Pohon bambu yang sama,jembatan yang sama,sungai yang sama,dan kenangan persahabatan yang masih sama.
     “Prih,selepas SMP kamu mau melanjutkan kemana?”
     “Aku tidak tahu,Nik.Sebenarnya aku masih ingin sekolah tetapi kurasa orang tuaku tidak akan mampu membiayai.Kalau kamu mau melanjutkan ke mana?”
     “Aku ingin ke SMA tetapi orang tuaku meminta untuk melanjutkan ke SMK saja.”
     “Kalau ke SMA kamu mau ambil jurusan apa,Nik?”
     “Kelihatannya akuntansi,Prih.”
     Kulihat raut wajah Prihatini tidak secerah wajah Prihatini yang aku kenal.Dia hanya diam sambil terus beriringan di sampingku.Aku ingin membantu Prihatini agar tetap bisa melanjutkan.Akan tetapi diriku sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk membantu Prihatini.Apalagi ini tentang biaya sedangkan aku hanya siswi SMP yang masih menengadah tangan pada orang tua.
***
     Ujian nasional tingkat SMP sudah digelar hampir satu bulan yang lalu.Hari ini lagi akan diadakan pelepasan dan pengumuman hasil ujian..Aku lulus dengan nilai terbaik di sekolah sedangkan Prihatini lulus juga dengan nilai yang cukup.Kami mengenakan kebaya sebagai busana wajib dalam acara pelepasan tersebut.
     Ketika namaku dipanggil untuk maju menerima penghargaan,kupeluk dahulu teman-temanku,termasuk Prihatini.Dia mengucapkan selamat padaku sembari memasang senyum manisnya.Dua jam kemudian acara ditutup dengan penampilan band sekolah kami.Sebelum pulang kuhampiri Prihatini terlebih dahulu.
     “Prihatini.”
     “Eh,Anik.Ada apa?”
     “Ini ada titipan dari Pak Nasrullah dibuka kalau sudah sampai rumah ya.Aku pulang dulu bareng bapakku.”
     “Eh,iya.Hati-hati di jalan,Nik.”
***
     Prihatini menatapku lama sekali,sudah seperti kami akan berpisah saja.Matanya berkaca-kaca dan tangannya menggengam tanganku.Kemudian dia memelukku erat sekali.Seakan kami akan berpisah dengan jarak yang jauh dan dalam kurun waktu yang lama.Aku sadari Prihatini memang benar karena kami akan berpisah selama tiga tahun.
     “Anik,terima kasih atas bantuanmu,terima kasih sahabatku.”
     “Aku enggak lakuin apa-apa kok,Prih.Itu sudah menjadi jalan dari Allah lewat perantara Pak Nasrullah.Kamu jaga diri baik-baik di sana.Jangan lupain aku kalau nanti kita jarang ketemu.”
     “Mana mungkin aku ngelupain kamu,Nik.Aku pasti bakal kangen banget sama kamu nantinya.”
     “Udah.Kamu baik-baik di madrasah aliyah sana,belajar yang bener dan manfaatkan kesempatan ini.”
     “Iya,Nik.Kamu juga yang bener sekah di sini.Aku berangkat dulu ya.Sampai jumpa.”
     “Sampai jumpa,Prihatini.”
     Prihatini melepas pelukannya.Ujung matanya basah karena air mata.Perlahan dia melangkah memasuki bus dan melambaikan tangan padaku.Bus mulai bergerak meninggalkanku yang masih berdiri termenung.Aku harus berpisah dengan sahabatku,Prihatini.Semua demi pendidikan yang lebih baik untuknya.
     Sebulan yang lalu Pak Nasrullah menawariku sekolah gratis di sebuah madrasah aliyah tempat dia mengajar.Akhirnya aku mendapatkan ide untuk menyampaikan kabar bahagia itu pada Prihatini.Kepala yayasan MA itu mengratiskan sekolah selama tiga tahun dengan syarat siswi yang ingin mendapatkannya harus hafal minimal tiga juz Alquran dan mau tinggal di asrama madrasah aliyah.
     Demi cita-cita Prihatini,kedua orang tuanya ikhlas melepas Prihatini untuk menuntut ilmu.Selagi asa masih ada dan masih dipercaya dengan rasa maka jalan Sang Pencipta selalu ada.Meskipun aku dan Prihatini hanyalah anak desa namun kami terus bertekad untuk menuntaskan pendidikan dengan sebaik-baiknya.Menuntut ilmu dengan harapan menciptakan dunia esok yang lebih baik.Terkadang kita berharap cemas dengan segala rencana kita di masa mendatang namun skenario Sang Pencipta jauh lebih sempurna untuk anak desa seperti aku dan Prihatini yang terus berusaha menjaga rasa percaya bahwa asa akan menjadi nyata.

Selesai




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Seseorang di Masa Mendatang

Kita berjalan jauh untuk mencapai dekat. Ketika waktu tidak bertentangan, aku bersyukur kita bukan jalan yang berseberangan. Kita jalan yang beriringan kendati aku dan kamu tidak terlahir dalam keadaan yang sama. Entah kapan suatu masa itu datang, kita pasti berdampingan dengan perbedaan. Maka mari berdamai dalam penerimaan. Sesuatu yang kalau-kalau jatuh akan kita tangkap bersama. Sesuatu yang kalau-kalau hilang akan kita temukan bersama. Hidup tak pernah sedatar stadion ibu kota. Hidup tak pernah selalu hijau bak rumput yang terpangkas rapi di atasnya. Namun kita akan menanam dan menuai tanaman yang sama. Sebuah tanaman yang mengingatkan kita tentang pemaknaan kesabaran. Seharusnya aku dan kamu tak pernah jauh karena takdir itu sendiri yang membuat kita dekat. Bak setiap kegagalan dan percobaan, bak setiap kegagalan dan tercapainya keberhasilan setelah ratusan percobaan. Selayaknya kita mencoba berdamai atas keadaan diri masing-masing. Penerimaan itu bukan sesuatu yang tak

Bentar Nanti Aja, Ini Untuk Disimpan (Draft 28 September 2021)

 Ketinggian. Beberapa orang atau bahkan banyak orang takut dengan ketinggian. Aku sering mendengar mereka menyebutnya "phobia". Ketika aku menulis ini, aku berada di tempat yang lebih tinggi daripada kamar kosku yang hanya di lantai dua. Ini lantai lima dengan pemandangan yang luar biasa. Sebuah gedung yang terhitung baru di tempatku memutuskan melanjutkan pendidikan (tinggi?). Tentang kata "tinggi", aku teringat lirik salah satu lagu favoritku. Tetapi hatiku selalu meninggikanmu, terlalu meninggikanmu, selalu meninggikanmu. Hal-hal seperti ini terkadang membuat manusia lupa melihat ke bawah. Namun di sisi lain jika tak melihat ke bawah maka orang-orang yang memeluk fobia tidak perlu merasa takut lagi. Mereka hanya perlu meresapi betapa luar biasanya pemandangan dari ketinggian, hal-hal yang tidak dapat dilihat dari tempat yang tidak tinggi. Tidak hanya tempat tinggi yang memiliki keindahan, setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Hanya perlu hati yang la

Perjalanan Menemukan yang Tak Ditemukan

A ku benar-benar seperti ingin pergi ke negeri jauh. Merasakan dingin butiran salju. Memanjakan perasaanku sendiri. Aku terlampau senang untuk bertualang dalam kepalaku. Namun, belum ada kesempatan pasti untuk menentukan sebuah perjalanan. Apakah aku berani bepergian sendiri? Haruskah ada orang lain yang kuajak? Sebuah buku yang akan terus aku tulis setiap waktu, takdir. Sesuatu di antara yang telah kuubah dan tak dapat aku ubah. Aku ingin terus merawat dunia kecilku. Jangan terburu-buru untuk menua karena aku tak ingin terlampau cepat sakit. Masih banyak waktu yang ingin kulewati dengan kemudaan dan kebebasan. Lalu mengapa pula menjadi dewasa terlihat dan terasa akan sangat memenjara? Melarang apa-apa. Membatasi diri menjaga dari pandangan orang-orang. Ruangan-ruangan sempit yang menyedihkan, jangan sampai aku tinggal di dalamnya pun begitu juga dirimu. Mari menguasai waktu masing-masing. Memandang hamparan manusia dengan kesibukannya d