Semoga
tulisan ini tidak terlambat, seperti tagihan tugas-tugasku yang menumpuk di
akhir semester, seperti rindu yang manusia tampung dalam celengan bak syair
Bung Fiersa Besari.
Kepada,
Agustus. Aku meminta maaf karena tak mengucap selamat datang dan tiba-tiba
menjumpaimu di hari yang hampir terhitung akhir ini. Terima kasih sudah
berkenan menggenapkan tujuh belas yang ketujuh puluh enam bagi tanah
kelahiranku ini. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali di tahun-tahun yang
akan datang.
Dirgahayu…
dirgahayu… dirgahayu…
Semoga
berumur panjang untuk negaraku juga negaramu. Kita yang terlahir di tanah yang
sama namun tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbeda. Namun, tentangmu… aku
akan selalu mendoakan kebaikan-kebaikan yang tak terhingga selayaknya apa yang orang-orang
baik itu doakan untukmu.
Apakah
orang-orang masa kini masih membicarakan tentang kemerdekaan di dalam layar
kaca, di pelataran media sosial, di dalam bus kota, kereta, juga kapal udara,
di gedung-gedung pemerintahan, serta di setiap riuh keramaian?
Aku
tidak mengetahui, bagaimana lautan dan hamparan manusia saat ini menanggapi
dunia yang begitu menggelisahkan.
Masa
ketika aku membuka mata adalah sebuah magis yang terbawa betapa emosionalnya
manusia yang dilayang-layangkan dalam lautan realitas kehidupan. Aku menjelma
menjadi salah satu di antara keramaian itu, merasakan sesak yang tak dapat
dituntaskan, menumpahkan kegelisahan, menyalakan suara yang sebelumnya terdiam.
Namun,
sering kali tiba masa ketika aku menginginkan diam, terpejam, dan membiarkan
seluruhnya tertelan diksi “tak apa-apa” untuk segalanya. Aku selayaknya dirimu
yang menggebu ketika waktu menjadi begitu menyenangkan dan masa bodoh ketika
bagian lain dari diriku mengatakan tak apa untuk menerima “ya sudahlah”. Atau
hanya aku yang merasakannya? Boleh jadi ada pula manusia yang begitu menggebu
sepanjang jalan yang ia tapaki.
(Kehidupan)
aku dan kamu adalah bianglala. Bergerak pelan naik, berpacu cepat turun. Kincir
ria yang identik dengan pasar malam dan taman hiburan. Sesuatu yang diingini
banyak orang.
Sebentar...
Sampai di sini, kira-kira berapa baris yang sudah kamu baca dari kerandomanku
hari ini? Semoga kamu tidak menyesal, semoga waktumu tidak terbuang sia-sia
karena membaca ketidakfokusanku menuliskan susunan paragraf ini. Semoga kamu
menjadi orang yang mampu menahan amarah terhadap hal-hal sepele semacam ini dan
tentunya tentang hal-hal besar. Seperti badai, tunggulah hingga reda dengan
hati yang lapang.
Kamu
adalah orang baik maka merdekalah dari segala penyesalan tentang hari kemarin.
Aku ingin mengatakannya sekali lagi, (kehidupan) aku dan kamu adalah bianglala
(sebenarnya orang lain menyebutnya sebagai “roda”). Maka berapa pun ketinggian
kita, nikmati saja taman langit yang dapat kita lihat selagi menunggu poros itu
bergerak berputar, ia akan membawa kita menggenapkan tiga ratus enam puluh
derajat. Kita memilikinya! Satu putaran penuh, dua putaran penuh, tiga, empat,
dan seterusnya sampai tiba waktunya untuk ikhlas berhenti. Lalu, kita harus pulang.
Ketika
hari menyentuh malam yang begitu tua, menunggu pagi yang enggan kembali, dan
udara dingin menyergap sekujur tubuhmu maka sesungguhnya ada kekhawatiran
sedang mendera jiwa-jiwa yang begitu mempedulikan dirimu.
Oleh
karena hal sepenting itu, jagalah dirimu. Jangan sampai melupakan jalan pulang,
berjalanlah sampai menemukan pintu yang dibaliknya Dia yang memerdekakanmu
telah menunggu, Dia yang menerima salammu dan mendengarkan seluruh cerita serta
lelahmu dari perjalanan panjang yang telah kau tempuh sepanjang hari ini.
MERDEKA-lah,
kurasa tiada yang terlalu menuntut daripada dirimu sendiri.
Selamat malam, Agustus.
Komentar
Posting Komentar