Aku perempuan 20 tahun yang telah melewati masa waptrick, planetlagu, joox, dan sekarang spotify. Siapa yang selama hidupnya tidak pernah mendengarkan musik? Tentu bukan aku. Ketika trend mengunduh lagu bajakan tengah marak, aku merupakan salah satu pelaku di dalamnya. Bahkan jujur sampai saat ini aku masih menyimpan file-file .mp4 itu di dalam perangkat pc-ku.
Enam
tahun lebih yang lalu, aku belum mengenal BTS, atau EXO, atau The Chainsmokers,
atau bahkan Nadin Amizah. Aku masih seorang remaja yang mendengarkan lagu-lagu
Peterpan (aku pikir ketika SMP terdapat masa aku berjarak dengan NOAH), Maroon
5, Coldplay, Simple Plan, Avril Lavigne, Taylor Swift, Avenged Sevenfold, dan
tentunya Linkin Park.
Di
antara banyak genre musik yang kudengar, mungkin beberapa orang akan heran, “bagaimana bisa seorang perempuan
mendengarkan musik rock?”. Suatu hal yang lumrah di tengah pandangan
masyarakat umum, meskipun di dunia ini hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh.
Berawal
dari sd card ponsel pemberian kakak
keponakanku, telingaku mulai terbuka untuk mendengarkan berbagai lagu dari
musisi kenamaan dunia. Sebenarnya banyak, namun aku hanya akan menceritakan
tentang Linkin Park. Hanya Linkin Park untuk hari bersejarah ini.
Satu
kali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya. Mulai dari Numb, In The End, Waiting For The End, Crawling, Papercut, Faint, Figure, Somewhere I Belong, dan lainnya yang tidak akan aku sebut satu
persatu, sangat cukup untuk membuatku merasa candu. Lalu seperti remaja
lainnya, aku menuliskan lirik beberapa lagu, mencoba menyanyikannya (meskipun
parah sekali kedengarannya), dan akhirnya sedikit hafal verse demi verse.
Bagiku
alunan musik Linkin Park serta screaming Chester sebenarnya tidak seberat grup
musik lainnya (hard rock). Lirik yang
mendalam, musik yang ciamik, dan vokal Chester yang tak ada duanya membuatku menyukai karakter musik Linkin Park
dan terus-menerus mendengarkan lagu-lagu mereka. Namun, sebenarnya ada faktor
lain yang membuatku betah bucin dengan
grup musik asal Amerika Serikat itu. Beruntungnya beberapa teman semasa SMP
ternyata juga merupakan pendengar musik-musik mereka. Jadilah aku semakin berumah.
Satu
hal yang sangat kuingat saat itu adalah pembalap favoritku mengatakan dalam
wawancaranya bahwa ia selalu mendengarkan musik sebelum memulai balapan dan
salah satu musik yang ia dengarkan adalah Linkin Park. Aku ini dulunya bucin seorang Jorge Lorenzo, meskipun sayangnya
saat ini ia telah pensiun.
Biarpun
cukup lama sejak aku mengenal Linkin Park namun bukan berarti aku mengenal
lengkap semua lagu mereka. Setidaknya selama ini aku mendengarkan lagu-lagu
dari album Hybrid Theory, Meteora, Minutes to Midnight, A
Thousand Suns, Living Things, dan
pastinya One More Light. Untuk album The Hunting Party entah mengapa kurang
cocok dengan telingaku.
Hal
yang cukup menyenangkan dari Linkin Park adalah ketika mereka mengisi soundtrack untuk film favoritku, Transformers. Aku mengucapkan terima
kasih kepada salah satu televisi swasta nasional yang telah berbaik hati
menayangkannya hingga aku dapat berkali-kali menyaksikan film ini.
Lagu-lagu
Linkin Park seperti memiliki magis tiap kali aku mendengarkannya. Aku juga
tidak bosan menonton puluhan music video
dan live performance mereka. Meskipun
sebenarnya waktu di mana aku menyetel musik keras-keras, mendengarkannya di
malam hari, membawa seluruh emosi, merasa marah, merasa sedih, merasa tidak
berguna, dan terpuruk adalah seluruh titik bawah kehidupanku.
Aku
sadar bahwa aku belum berada di usia dan keadaan yang pantas untuk membicarakan
tentang titik terendah dalam kehidupan sebagai seorang manusia. Anak kemarin
sore.
Namun
aku pun hanya manusia, manusia yang terkadang begitu lemah dan mudah patah. Aku
percaya setiap manusia memiliki cara untuk menghadapi setiap langkah yang berat
dalam hidupnya. Begitu pun denganku, aku melakukannya dengan menyerap segala
yang aku dapat dari Linkin Park.
Tentang
dunia persekolahan, aku sadar aku bukan manusia cerdas, namun karena doa ibuku
akhirnya aku mampu lolos dari ketakutanku tak mampu lolos ujian. Sebagai
seorang siswa kupikir kekhawatiran-kekhawatiran tentang ujian adalah sesuatu
yang lumrah.
Tentang
remaja, pubertas adalah hal yang menyebalkan karena penuh dengan emosi dan
hal-hal absurd. Aku malas untuk membahasnya, namun seperti kebanyakan manusia
aku juga mengalaminya. Menangis karena seseorang? Sudah biasa dan sekarang aku
merasa bodoh. Semoga saja sudah tidak bodoh ya, wahai diriku.
Ketika
melalui semuanya dalam kurun waktu keterpurukan yang menyebalkan, tidak
terlewat meskipun hanya satu lagu Linkin Park yang akan aku dengarkan
sekeras-kerasnya menggunakan earphone.
Aku pikir, aku berteriak bersama Chester. Aku mengalaminya, aku melakukannya,
aku melaluinya, dan sekarang aku mengingatnya.
Pagi
itu, ketika aku menonton televisi sambil sarapan sebelum berangkat sekolah (hal ini menjadi kebiasaanku saat itu), tiba-tiba adikku berkata, “Mbak, tuh idolamu meninggal”.
Aku
langsung balik kanan sesudah memindahkan piring kotor ke wastafel. Aku masih
ingat, channel SCTV acara Liputan6. Seorang musisi meninggal karena bunuh diri
tanggal 20 Juli 2017, Chester Bennington.
Aku
tidak percaya. Namun itu sesuatu yang nyata. Aku tidak ingat lagi bagaimana
sekolahku hari itu. Namun sepulang sekolah aku mengulik habis tentang Chester,
menonton berkali-kali video klip Heavy
dan Talking to Myself yang baru saja
dirilis, dan menangis sampai bengkak keesokan harinya.
Aku
tahu aku tidak mengenal Chester dengan baik karena yang kulakukan hanyalah
mendengarkan dan menghafalkan lirik lagu-lagu Linkin Park. Fakta bahwa Chester
bunuh diri tepat di hari ulang tahun sahabatnya (Chris Cornell) adalah sesuatu
yang pedih. Pada Mei 2017, Chris Cornell meninggal dunia karena gantung diri
dan pada 20 Juli 2017 Chester menyusulnya. Mendapati fakta bahwa Chester
memiliki masa lalu yang berat mulai dari pelecehan seksual semasa kecil, kecanduan
narkotika dan alkohol, serta masalah perceraian membuatku memahami mengapa
selama ini kudapati kesedihan dan kemarahan dalam setiap screaming dan vokalnya.
Perilisan
album One More Light seperti
kebahagiaan yang kemudian disusul duka mendalam dengan keputusan Chester untuk
mengakhiri hidupnya. Jika mengingat masa-masa itu rasanya aku kembali pada
bulan Juli yang kelam. Satu dari seratus harapan yang kutulis “Menonton konser Linkin Park dan bertemu
Chester Bennington” akhirnya gugur.
Aku
tahu banyak orang menganggap hal-hal semacam ini berlebihan. Namun, aku selalu
merasa kehilangan dia setiap tahunnya di tanggal 20 Juli. Ia selalu ada dalam
setiap karya yang ia tinggalkan, ia masih hidup melalui suaranya, dan ia selalu
menjadi teman dalam setiap keterpurukan.
Konser
Linkin Park and Friends: Celebrate Life
in Honor of Chester Bennington yang digelar pada 27 Oktober 2017
dipersembahkan untuk Chester. Aku menangis lagi, membayangkan bahwa part demi
part tiap lagu dinyanyikan oleh Chester, bukan orang lain.
Setelah
hari kematiannya sampai beberapa bulan kemudian aku mendengarkan lagu-lagu
Linkin Park untuk mengingat sosoknya lagi. Namun karena alasan untuk merelakan,
akhirnya aku mulai mendengarkan lagu-lagu One Ok Rock dan Simple Plan,
menganggap Taka dan Pierre Bouvier sebagai sosok yang mampu membawa suasana baru.
Setelah
kematian Chester, keputusan membuat organisasi pencegahan bunuh diri untuk
masyarakat yang dibuat oleh keluarga Chester Bennington merupakan upaya untuk
mencegah bunuh diri dan menyelamatkan orang-orang yang telah berada di puncak
keputusasaannya agar tidak berakhir seperti Chester. Sewaktu masih hidup, Music for Relief sebagai sebuah
organisasi yang diprakarsai oleh Linkin Park juga telah menolong banyak orang
melalui bantuan kemanusiaan yang disalurkan untuk korban tsunami India, Jepang,
dan bencana alam lainnya. Ia (Chester Bennington) telah menyelamatkan nyawa
orang lain meskipun ia tak mampu menyelamatkan nyawanya sendiri.
Hai, Chester… Upacara kematian
memang begitu pedih. Peringatan kematian memang penuh dengan haru masa lampau.
Namun aku akan mengingat setiap tahunnya tanggal 20 Juli dengan tiap hari
sepanjang tahunnya mendengarkan suaramu melalui karya-karya besar Linkin Park yang
akan terus hidup sepanjang masa.
Thank you and I miss u, Chester.
Wonogiri, 20 Juli 2021
Komentar
Posting Komentar